Kebangkitan Kembali Kopi Priangan: Bagian 2

Kopi Masa Kolonialisme Belanda

Pada masa pemerintahan Belanda, kopi ditanam dengan sistem yang baru. Para bangsawan lokal tak lagi dilibatkan. Selain tanaman kopi, pemerintah Belanda memberikan pilihan tanaman lain yang wajib ditanam, yakni nila, teh, tebu, dan kayu manis. Hasil dari tanaman wajib tersebut hanya boleh dijual kepada Belanda dengan harga yang jauh dari harga standard pasar dunia. Secara lebih spesifik para petani menjual kopi mereka kepada Belanda dengan harga 25 Gulden (mata uang Belanda) per pikul (± 62 kg), dua per lima dari nominal tersebut (10 Gulden) digunakan petani sebagai “sewa tanah” dan sebanyak 3 Gulden digunakan sebagai biaya transportasi dari gudang menuju pelabuhan (Fernando, 2003). Sehingga petani hanya menerima 12 Gulden tiap pikulnya. Dari petani tersebut, Belanda menjual kopi ke China, Arab dan Eropa.

Jumlah tanaman kopi di pulau Jawa, setelah 1832, mengalami pertumbuhan signifikan, karena pemerintah Belanda memerintahkan untuk menanam kopi hingga di tingkat pedesaan. Terhitung pada 1834, jumlah tanaman kopi di pulau Jawa mencapai 187.185.108 pohon, yang mana dua per tiganya merupakan tanaman baru (Fernando, 2003). Sebagai hasil ekspansi tersebut, kopi dari pulau Jawa mengalami lonjakan produksi. Pada grafik berikut menunjukkan bahwa ekspor kopi Indonesia sebagian besar berasal dari Jawa:

ekspor kopi 1823-1931

Grafik I. Ekspor kopi, 1823-1931 (dalam satuan ribu ton). (Fernando; 2003).

Ekspor kopi Belanda dari pulau Jawa terus mengalami peningkatan paling tidak sampai dengan pada 1885. Hasil kopi Pulau Jawa pada beberapa tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel II. Ekpor kopi dari pulau Jawa (1843-1860)

Ekspor kopi Dalam satuan pikul (1 pikul = ± 62 kg). (Zuhdi; 2002)

Dalam tabel tersebut, produksi yang paling banyak berasal dari Priangan, Kedu, dan Pasuruan (Zuhdi, 2002). Peningkatan tersebut tak lepas dari praktik monopoli perdagangan kopi yang dilakukan Belanda.

Penanaman kopi arabika mulai dihentikan pada 1885. Hal ini sebabkan oleh adanya serangan hama penyakit karat daun (Hemeleia Vastatrix). Jenis hama tersebut berhasil melahap habis perkebunan kopi di Sri Lanka pada 1880-an. Dalam upaya menanggulangi penyakit dan mengembalikan kopi di pulau Jawa kembali ke masa keemasannya, pemerintah kolonial memodernisasi penanaman kopi melalui perkembangan teknologi. Mulai mengganti tanaman kopi arabika dengan kopi liberika hingga kopi robusta yang tumbuh pada dataran yang lebih rendah. Hasil yang diperoleh selama dua dekade akhir abad 19 jauh dari yang diharapkan. Bahkan jatuhnya harga jual kopi pada 1890-an, membuat para petani menjadi enggan untuk membudidayakan tanaman tersebut.

Pada 1860-an, terjadi perubahan politik di Kerajaan Belanda. Salah satu perubahan tersebut ditandai dengan munculnya penulis bernama pena, “Multatuli”, yaitu Edward Douwes Dekker, yang menerbitkan novel berjudul Max Havelaar. Dekker dalam novelnya memotret kondisi kolonialisme di Pulau Jawa. Dampak langsung dari kehadiran buku ini masih diperdebatkan, tetapi dalam jangka panjang buku ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dalam menentang rezim penjajahan dari abad 19 di Jawa. Yang pasti, pada 1860-an secara perlahan sistem tanam paksa mulai dihapus. Diawali dari penghapusan kewajiban menanam lada pada 1862, nila dan teh pada 1865, serta tembakau pada 1866 (Ricklefs; 2011).

Kopi dan gula merupakan komoditas yang paling menguntungkan Belanda jika dibandingkan tanaman yang wajib ditanam lainnya. Itulah mengapa penghapusan kewajiban menanam kopi paling akhir. Undang-Undang Gula pada 1870 menetapkan bahwa pemerintah akan menarik diri atas penanaman tebu selama 12 tahun, yang dimulai pada 1878. Sementara itu, penghapusan penanaman kopi baru berakhir di Priangan pada awal 1917, dan di beberapa daerah pesisir utara Jawa pada Juni 1919 (Ricklefs; 2011). Ketidakmampuan pemerintah Belanda mengontrol hama penyakit yang menyerang tanaman kopi, membuat kopi di tanah Sunda “punah”.

Dari sistem tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosch, pihak Belanda mendapatkan banyak keuntungan. Sejak 1831 anggaran belanja kolonial Indonesia sudah seimbang, dan setelah itu hutang-hutang lama VOC dilunaskan. Uang dalam jumlah yang sangat besar dikirim ke negeri Belanda. Dalam kurun 1831-1877 perbendaharaan Kerajaan Belanda telah menerima 832 juta gulden. Pendapatan-pendapatan ini membuat perekonomian dalam negeri Belanda stabil: berbagai hutang dilunasi, pajak diturunkan, kubu pertahanan, terusan, dan jalan kereta api negara dibangun, semuanya diperoleh dari keuntungan-keuntungan yang diperas dari desa-desa di Pulau Jawa (Ricklefs, 2011).

Sejak tanam paksa kopi dihapus dan harga jual kopi yang anjlok, kebanyakan petani beralih pada mata pencaharian lainnya. Namun, di beberapa daerah kopi masih diproduksi dalam skala kecil di sekitar dusun dan hutan hingga awal abad 20. Meski pemerintah Indonesia memberikan respon berupa rasionalisasi budidaya kopi atas penyakit karat daun, mayoritas petani enggan kembali menanam kopi lantaran sudah memiliki mata pencaharian yang sulit ditinggalkan. (Fernado; 2003).

(bersambung….)

 

*Ngabdulloh Akrom @catur_warna, merupakan peneliti di Philocoffee Research Center, sebuah lembaga penelitian multidisipliner mengenai kopi, yang berkedudukan di Jakarta.

One thought on “Kebangkitan Kembali Kopi Priangan: Bagian 2

Leave a comment