Ir. Patola & Koperasi Tani Benteng Alla Utara

Kawasan Enrekang telah lama memproduksi kopi. Tapi, nama Enrekang sebagai kawasan penghasil kopi belum begitu diketahui secara luas oleh masyarakat non-Sulawesi Selatan. Selama ini, kopi dari Sulawesi Selatan kerap diasosiasikan dengan Toraja dan PT Toarco yang membuat nama Enrekang tenggelam. Beruntunglah, sejak 2010, importir dan roaster dari Australia berkenan memesan dan terlibat langsung dalam proses kopi spesialti di kawasan Enrekang, dalam hal ini Benteng Alla Utara, dan bersedia menjualnya dengan nama Enrekang, bukan Toraja. Pengeksporan kopi Benteng Alla Utara ke Australia dan dijual dengan nama Enrekang untuk pertama kalinya memasuki babak baru bagi para petani kopi Enrekang dalam meningkatkan kualitas dan nilai jual hasil jerih payah mereka.

Babak baru yang sedang dijajaki oleh para petani Enrekang tidak lepas dari peran dan partisipasi banyak pihak, dan tentu saja kegigihan dan kemauan serta keterbukaan horizon pikir para petani di Benteng Alla Utara. Salah satu sosok penting dari kalangan petani Benteng Alla Utara adalah Ir. Patola. Dia merupakan Kepala Desa Buntu Dama cum Ketua Koperasi Tani Benteng Alla Utara. Sosok sarjana Universitas Islam Makassar ini cukup populer di kalangan masyarakat dan pelaku usaha kopi baik di Enrekang dan Makassar. Di tengah geliat perkembangan kopi spesial yang bergerak terseok-seok, Patola muncul bagaikan pembaharu.

 

Sekelumit Sejarah Kopi di Benteng Alla Utara

Penyebaran kopi sampai ke tanah Sulawesi dilakukan oleh para pelaku usaha Belanda. Mengenai tahun kapan pertama kali kopi ditanam di sana, masih belum diketahui secara pasti. Menurut Patola penananam kopi di Enrekang sudah memasuk generasi keempat. Pada masa awal, masyarakat Enrekang menanam kopi varietas typica. Ketika nilai kopi mengalami kemerosotan, dan tingkat produksi rendah, sebagian menghentikan menanam kopi, sebagian menggantinya dengan kopi USDA, Kartika, dan terakhir kopi jember. Bagi yang berhenti menanam kopi, mereka beralih bercocok tanam hortikultura. Ketika permintaan dan nilai kopi semakin membaik, sebagian yang sudah mengonversi lahan kembali melirik tanaman kopi. Berdasarkan pengalaman yang sudah dilalui akan lesunya nilai kopi, para petani tetap menanam hortikultura, dan juga beternak.

Enrekang merupakan penghasil kopi dengan jumlah terbesar di Sulawesi Selatan. Menurut catatan instansi dirjen perkebunan, pada 2007, Enrekang menghasilkan 6.340 ton. Posisi kedua ditempati oleh Toraja, yakni 4.402 ton. Terdapat dua kecamatan di Enrekang yang menyumbang jumlah produksi terbanyak, yaitu Benteng Alla dan Baraka. Sebagian besar petani kopi di Benteng Alla memiliki lahan sekitar 1 ha. Dengan lahan seluas tersebut, tingkat produksi petani sekitar 800-an kg/ha. Sementara itu, tingkat produksi petani kopi di Toraja berkisar 400-an kg/ha. Dengan demikian, secara jumlah, kopi yang berasal dari Sulawesi Selatan sebagian besar berasal dari Enrekang. Itulah mengapa kita sering menemukan identitas kewilayahan dari kopi yang beredar di pasar sebagai Toraja-Kalosi, yang sejatinya merupakan kopi dari Kabupaten Enrekang bukan dari Kabupaten Toraja.

Ir. Patola: Sarjana Kota yang Kembali ke Kampung Halaman

Sosok Patola itu kecil dan tidak gemuk. Berkulit putih. Terdapat kerutan-kerutan di wajah yang merefleksikan beban kerja yang ditempuhnya. Dia memiliki senyum yang seakan-akan mengatakan bahwa kesulitan pasti bisa dilalui jika kita berusaha untuk mencari jalan keluar. Memiliki rambut pendek. Setelah menamatkan pendidikan S-1 di Makassar, Patola kembali ke desa dengan harapan dan tujuan mengamalkan ilmu pengetahuan yang didapatkannya di kota untuk mengembangkan desanya. Patola selepas sarjana mulai menggarap kopi di lahan seluas 3 ha yang dimilikinya.

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Enrekang adalah berkebun. Salah satu hasil kebun yang utama adalah kopi. Sosok Patola sejak kecil akrab dengan kopi. Meskipun demikian, dia mulai tekun dan saksama menyandarkan mata pencahariannya di kopi sejak 2000. Pada tahun tersebut Patola membawa kopi dari desa dan kabupatennya untuk dijual ke Toraja. Patola juga pernah bekerja di KUD Sane selama tiga tahun. Pada 2003 dia berhenti bekerja di KUD Sane dan mulai melakukan penelusuran jejaring rantai pasokan di Makassar. Di Makkasar itu dia bertemu dengan tim kerja dari Megahputra Sarana, selanjutnya disebut MPS saja. Melalui MPS inilah kopi hasil kebun dari Benteng Alla Utara pada 2009 dikirim sebagai contoh ke importir dan roaster di Australia.

 

Menurut Patola, pada 2009 seorang importir kopi dari Australia, yaitu Andrew dari Mountain Top Coffee (MTC), datang ke Desa Buntu Dama. Andre datang didamping oleh tim dari MPS. Sebelumnya juga sempat datang tim dari ACIAR dan peneliti muda value chain dari Universitas Sydney, yaitu Jeff Neilson, ke daerah Benteng Alla Utara. Tim dari ACIAR dan Jeff datang meneliti persoalan mata pencaharian petani kopi di Benteng Alla Utara. Karena Jeff menerapkan mazhab intervensioner dalam dunia akademisi, Jeff juga berbagi informasi soal perkembangan kopi spesial di dunia serta memberikan tips dan masukan kepada Patola mengenai sistem proses kopi spesial.

Berdasarkan hasil tukar pikiran dengan tim dari ACIAR, Jeffrey Neilson, Anthony Marsh, Andrew MTC, tim Campos Coffee, peneliti dari Puslitkoka, dan tim PMS, Patola tertantang untuk mulai melakukan proses kopi spesial di desanya. Tantangan awal yang perlu dihadapi adalah bagaimana menyampaikan soal sistem proses kopi spesial ke para petani rekan Patola dan bagaimana membuat mereka mau memikirkan ulang sistem proses yang selama ini dilakukan. Patola mulai melakukan pencatatan kerja dengan menyurvei cara kerja petani baik penanaman sampai pemrosesan. Mulailah Patola melakukan sosialisasi sistem proses kopi spesial ke para petani kopi di lingkungannya. Sebagaimana sebuah gagasan baru dan asing, respons pertama yang dialami Patola adalah ketidaksepakatan, selain kebingungan di tingkat petani. Patola tetap mensosialisasikan gagasan kerja kopi spesial ke masyarakatnya.

Pada 2010, meski pelakunya terbatas, Patola dan beberapa rekannya tetap mencoba memproses kopi spesial. Karena masih tahap uji coba, Patola melalui koperasi tani membeli kopi dari para petani yang menjadi anggota koperasi dalam bentuk karora atau kulit tanduk. Menurut Patola sistem pembelian karora kurang efektif. Proyek pertama ini hanya menghasilkan sekitar 600kg. rintangan-rintangan yang menyebankan proyek uji coba ini menjadi tidak efektif adalah menambahnya beban kerja petani dengan informasi pemrosesan yang terbatas dan soal pembayaran yang harus tunai di muka. Sebelum penerapan kopi spesial, petani segera mendapatkan uang ketika kopi lepas dari tangan mereka. Untuk program kopi spesial ini, pembayaran tidak bisa dilakukan tunai di muka sejak kopi yang dibeli dari petani masih diproses. Selain itu, keterbatasan uang kas Koperasi Tani Benteng Alla Utara tidak mampu membayar seluruh kopi yang dibeli secara tunai.

Patola dan rekan-rekan di koperasi tak patah semangat. Patola mulai menggelontorkan ide pembelian dengan sistem gelondong merah. Dengan sistem pembelian gelondong ini, beban kerja petani menjadi berkurang dan anggaran di muka yang harus dikeluarkan koperasi secara tunai sedikit  bisa ditanggulangi sejak ada perbedaan harga kopi dalam bentuk gelondong dan karora. Setelah Patola mendiskusikan gagasan barunya kepada banyak pihak, salah satunya kepada Anthony Marsh (seorang konsultan kopi internasional). Menurut Marsh, ide Patola sangat bagus. Tapi, sulit sekali untuk mengubah pola pikir petani untuk beralih ke sistem pembelian yang baru. Patola bersikeras untuk mencobanya. Patola pada 2011 mulai menerapkan sistem baru tersebut.

Patola menceritakan pengalamannya ketika dia pertama kali memperkenalkan sistem pembelian gelondong merah,

“…saya memang sedikit suka dengan tantangan. Pada 2011 kita mencoba [menerapkan sistem pembelian baru tersebut]. Awalnya memang berat. Teramat susah bagi petani menerima ide baru tersebut. [Di sisi lain], kadang petani masih bingung dengan cara itu. Kita tetap dan terus menjelaskan prosesnya. Kami memulai penyebaran informasi ketika ada Rembuk Petani (semacam rapat tahunan kelompok petani di Benteng Alla Utara—red.). Kemudian kami menindak lanjuti dengan penyuluhan di kelompok-kelompok petani. Kami terus mengundang petani untuk berbagi informasi sistem kerja kopi spesial. Setelah itu, kami mulai melanjutkan dengan pembelian. Tapi, pada  awal panen 2011, jumlah petani yang tertarik terlibat kerja kopi spesial masih sedikit. Tapi, karena sebagian petani  ada yang sudah yang mencoba, dan mungkin mereka becerita ke petani lain, akhirnya mulai satu per satu petani yang bersedia kerja kopi spesial bertambah.”

Pada 2012, meski pengerjaan kopi spesial masih mengalami banyak hambatan, Patola tetap senang melihat sebagian petani yang sudah terlibat merasa diuntungkan dengan sistem pembelian gelondong merah. Hasil observasi dan wawancara Philocoffee Project terhadap para petani yang terlibat dengan proses ini mengatakan bahwa mereka diuntungkan. Keuntungan yang didapatkan misalnya beban kerja berkurang, dan petani jadi semakin lebih tahu bagaimana memproduksi kopi yang baik, dan juga mengetahui sedikit banyak bagaimana perkembangan industri kopi spesial itu sendiri. Kami juga mewancarai para petani yang belum terlibat. Alasan utama mereka belum terlibat bermuara pada dua hal mendasar: 1) masih bingung dengan sistem kerja baru; dan 2) tidak bingung, tapi masih kurang sreg dengan sistem pembayaran yang tidak tunai, melainkan mundur.

Meski Patola bersama rekannya di Koperasti Tani belum mampu menghasilkan kopi spesial dalam jumlah besar, jika dilihat dari waktu awal proyek ini dikerjakan, yaitu sekitar 2 tahun, bagi kami apa yang dilakukan Patola dan Koperasi Tani serta petani di Benteng Alla sudah menggembirakan. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki koperasi, serta alat kerja, koperasi tetap bekerja semampu mungkin untuk mendapatkan hasil terbaik.

 

Jika petani yang hasil kebunnya dibeli oleh koperasi mengalami pengurang beban kerja, tidak begitu dengan Patola dan pengurus koperasi yang berjumlah 5 orang (termasuk Patola di dalamnya). Jika sebelum sentralisasi produksi dikenalkan dengan sistem pembelian gelondong merah oleh Patola, nilai kualitas kopi dari Benteng Alla dilimpahkan sepenuhnya ke petani itu sendiri. Sejak sistem pembelian gelondong merah digulirkan, kualitas kopi berpindah tanggung jawabnya dari pundak petani yang menjual ke pundak koperasi. Petani kopi yang terlibat sistem ini hanya menyerahkan kopi gelondong merah, sisanya koperasi yang akan melakukan proses.

Jika mengacu pada aset alat kerja yang dimiliki koperasi yang terbatas itu, misalnya, untuk tidak menyebut semua,  1 mesin pulper, 2 mesin huller, 40 terpal, dan 25 para-para, tentu hasil produksi yang kecil dirasa hal lumrah. Selain itu, dari segi transportasi juga turut memengaruhi. Pihak koperasi dengan hanya mengandalkan kendaraan roda dua untuk melakukan penjemputan atau pengambilan gelondong merah dari petani untuk dibawa ke koperasi dan dari segi waktu pemetikan ke pulping, maka hasil jumlah produksi turut berpengaruh.

Terlepas dari hambatan yang ada, apa yang sedang terjadi di Benteng Alla Utara merupakan kabar yang mencerahkan mengenai arah dan masa depan kopi di Enrekang. Apalagi, pihak koperasi mulai menekankan kepada para pembeli kopi garapan mereka untuk tetap menjualnya dengan nama Enrekang, agar nama Enrekang muncul ke permukaan setelah sebelumnya tenggelam karena kebesaran nama identitas Kopi Toraja. Dengan hadirnya identitas single origin dari Indonesia yaitu Enrekang di tengah pecinta kop Indonesia, jelas itu merupakan tanda baik. Dan, sudah selayaknya apresiasi dilayangkan kepada para petani kopi di Benteng Alla Utara dan Patola serta para pengurus koperasi tani kopi.

Panjang Umur Petani Kopi Indonesia![]

22 thoughts on “Ir. Patola & Koperasi Tani Benteng Alla Utara

  1. Saya kenal pak patola dari tahun 2000an saat geluti perdagangan antar pulau sayur2an termasuk kopi. beliau ulet dan konsisten. mantap Pak Desa,,,, selamat

    Like

  2. waowww……mantapp Ir.Patolaa
    lanjutkan……!!!!!!!
    buat dunia takjub dengan Benteng Alla dengan usaha kopinya
    Dari,Dirayanti E.B,mhasiswa POLTEKKES Makassar…warga Benteng Alla

    Like

  3. semoga niat baik dari pak desa bisa tercapai. saya slalu mendo’akan. dan benteng alla utara menjadi daerah yang terkenal dengan hasil buminya. bravo Ir. Patola

    Like

  4. Dari pertama kali dikenalkan kopi satu ini, pertanyaan bodoh saya adalah, “Ini kopi atau jus apel?”. Saking kagumnya saya. Bravo!
    Pertanyaan pentingnya adalah, apa yang bisa kita lakukan untuk semakin memajukannya?
    Mengonsumsinya? Pasti! Jatuh cinta saya sama kopi-nya.
    Ada yg lain kah?

    Like

  5. Pingback: Kopi Benteng Alla Dan Ir. Patola - rasakopi.com

Leave a comment