Peningkatan Mutu Produksi Kopi di Benteng Alla Utara, Enrekang, Sulawesi Selatan

Mountain Top Coffee (MTC), perusahaan penyangrai dan pengimpor kopi di Australia, pada 2010, berniat melakukan inisiatif pembelian kopi spesial di kawasan Benteng Alla Utara, Enrekang, Sulawesi Selatan. Dibantu oleh peneliti muda soal rantai nilai global (global value chain) dari Universitas Sydney, Jeff Neilson, mereka melakukan pendampingan langsung ke tingkat hulu dalam proyek tersebut. Program kerja MTC tersebut mengarahkan petani kopi di Benteng Alla Utara yang tergabung dalam Koperasi Tani Benteng Alla Utara (KTBAU) untuk memetik buah kopi yang merah saja dan mempersiapkan prasyarat sentralisasi produksi. Dengan begitu, petani kopi hanya melakukan proses kerja sampai gelondong merah. Langkah selanjutnya, yaitu mulai dari proses perambangan kesatu sampai pengiriman untuk cup test berada di pundak KTBAU. Sementara itu, untuk pengiriman ke Australia, pihak KTBAU bekerja sama dengan KUD Sane. Proses semacam itu yang dikenal sebagai sentralisasi produksi. Dengan sistem seperti itu, kopi yang berasal dari berbagai desa di Benteng Alla Utara dapat menghasilkan mutu kualitas sedemikian secara seragam. Dan, petani kopi dapat mengerjakan hal lain seperti mengurus tanaman hortikultura dan ternak selepas menyerahkan gelondong merah.

Sebelum 2010, perkembangan dan produksi kopi spesial di Benteng Alla Utara, Enrekang, Sulawesi Selatan, sangatlah rendah, dan dari segi mutu kualitas sangat beragam. Melalui sentralisasi produksi yang didampingi oleh MTC untuk kebutuhan Campos Coffee, kafe sekaligus roaster di Australia, pada 2010, kini Koperasi Tani Benteng Alla mampu menghasilkan kopi dengan kualitas spesial, meski secara kuantitas sangat terbatas. Pada 2010, koperasi menghasilkan kopi spesial kurang dari 1 ton. Sementara itu, pada 2011, koperasi menghasilkan 2.5 ton kopi spesial dari total panen sebesar 10 ton di tingkat petani. Pada 2012 ini, berdasarkan hasil pengamatan kami langsung, kuantitas kopi spesial di sana akan mengalami peningkatan.

Pengembangan kualitas kopi ke arah spesial merupakan hal kompleks. Ia membutuhkan tenaga dan waktu kerja tambahan, selain ketelatenan. Dan, hal mendasar soal kopi spesial ini, apakah pembeli bersedia memberikan harga yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Ketika petani di Benteng Alla memusatkan perhatian pada kopi spesial, akan ada biaya yang menambah sehingga membuat harga jual menjadi melambung. Agaknya inilah mengapa kopi spesial dari Indonesia selalu diserap secara besar-besaran oleh pembeli luar mengingat para roaster kafe lokal di Indonesia belum memungkinkan melakukan pembelian kopi spesial dalam jumlah berton-ton dan memberikan premi tambahan kepada petani.

Tentu saja, keinginan dari petani itu sendiri sangat berperan dalam peningkatan mutu kualitas ini. Ir. Patola, Kepada Desa Buntu Dama, Benteng Alla Utara, Enrekang, sekaligus Ketua Koperasi Tani Benteng Alla Utara dan juga seorang petani kopi, dengan telaten melakukan penyuluhan mengenai kopi spesial. Pada 2010, Patola, melalui koperasi yang diketuainya, mulai melakukan pembelian kepada petani berdasarkan pemesanan, dalam hal ini kopi spesial. Lantaran masih bersifat uji coba, KTBAU melakukan pembelian dalam bentuk karora (bahasa lokal di sana untuk menyebut kopi berkulit tanduk). Dari 30-an lebih kelompok anggota KTBAU, hanya sebagian kelompok yang bersedia melakukan proses kopi spesial.

Salah satu kendala utama adalah mengubah kebiasaan kerja. Menurut Patola mengapa kelompok anggota KTBAU belum semua bersedia melakukan proses kopi spesial dikarenakan petani enggan mengubah pola kerja yang sudah dilakukan selama ini. Sebagian kecil, petani masih ada yang bingung dengan proses tersebut. Proses kopi spesial mensyaratkan memetik buah kopi yang merah, sekurang-kurangnya 95% buah kopi yang dipetik harus merah. Pemetikan buah gelondong merah dilakukan berkali-kali, mengingat dalam satu pohon kopi tidak semuanya merah secara bersamaan. Setelah pemetikan, buah kopi dirambangkan untuk memilah mana kopi yang mengapung dan mana yang tenggelam. Setelah perambangan, kopi yang terpilih harus sesegera mungkin dikupas kulit buahnya (pulping). Setelah pulping, dilakukan perambangan kedua untuk melacak ulang mana kopi yang tenggelam dan mana yang tidak. Setelah itu, dilakukan fermentasi dengan kisaran waktu sekitar 16 sampai 24 jam. Setelah fermentasi, kopi dicuci. Selanjutnya, dilakukan penjemuran. Penjemuran pun diupayakan tidak dekat dengan tanah atau lantai jemur sehingga dibutuhkan meja penjemur atau para-para. Pengadaan para-para membutuhkan biaya tidak sedikit. Setelah dijemur, petani melakukan pengelupasan kulit tanduk. Setelah itu, dijemur kembali sampai kopi menyentuh kadar air 11 sampai 13 %. Itu belum selesai. Buah kopi yang sudah menjadi kopi beras (green beans) itu harus disortasi lagi akan cacat fisik yang terlewatkan dan memilah berdasarkan ukuran (grading). Setelah itu, dilakukan pengiriman kepada eksportir yang menjadi rekanan KTBAU dalam rantai pasokan internasional ini untuk cup test. Melalui cup test, kualitas kopi bisa dikuantifikasikan, dan selain itu hasil kopi bisa ditelaah sehingga jika ada kekurangan bisa diketahui di mana kesalahannya selama proses pascapanen. Jika cup test menunjukkan hasil seperti yang diinginkan oleh pembeli, dalam hal ini MTC, maka eksportir akan memproses langkah selanjutnya sebelum dikirim ke MTC.  Petani dengan mengacu hasil cup test bisa memperbaiki kualitas (jika masih di bawah standard) atau meningkatkan kualitas (jika sudah mencapai standard yang diinginkan) pada tahun mendatang. Proses semacam ini membutuhkan rantai nilai yang kukuh antara pembeli dan produsen serta penengah sebagai pemverifikasi kerja.

Proyek pertama kopi spesial di Benteng Alla Utara menghasilkan jumlah di bawah 1 ton dari target 16 ton. Capaian jumlah hasil yang jauh dari target itu disebabkan banyak hal, tiga di antaranya adalah persoalan curah hujan, pengontrolan kerja proses pascapanen, dan sedikitnya jumlah kelompok petani yang bersedia memproses kopi spesial. Berdasarkan pengalaman tersebut, KTBAU dengan lebih intensif melakukan penyuluhan dan yang utama mencoba sentralisasi produksi. Pemusatan pengolahan pascapanen bertujuan untuk menyeragamkan kualitas pascapanen. Melaui sentralisasi produksi, para petani kini hanya memproses kopi sampai pada tahap kalebu (bahasa lokal untuk buah kopi gelondong merah). Proses pascapanen selanjutnya berada di pundak KTBAU.

Penyuluhan yang intensif dan sentralisasi produksi pada 2011 oleh KTBAU mendongkrak hasil, dari di bawah 1 ton menjadi 2.5 ton. Meski kenaikannya tidak begitu drastis, hal itu sudah menggembirakan mengingat proses kali ini petani diminta hanya menjual kalebu kepada KTBAU. Pengenalan sistem pembelian gelondong merah masih membingungkan sebagian besar petani. Selain itu, dikarenakan kapital keuangan KTBAU terbatas sehingga tidak semua hasil kopi yang diproduksi di Benteng Alla Utara bisa dibayar di muka oleh KTBAU. Sebagian petani enggan menjual kopi jika tidak dibayar tunai.

Pada 2012 bisa dipastikan jumlahnya akan meningkat lantaran para petani mulai menyadari kemudahan sistem pembelian gelondong merah. Dengan menjual kalebu, petani dapat menghemat waktu kerja yang bisa digunakan untuk mengurus ternak atau tanaman hortikultura. Selain itu, petani tidak dipusingkan dengan tuntutan kualitas akhir (baca: pascapanen) lantaran KTBAU yang bertanggung jawab atas kualitas akhir. Sebagai komoditas jangka panjang atau hasil kebun per tahun, tuntutan proses kopi spesial dirasa oleh petani sangat tidak begitu signifikan dari segi pendapatan, paling tidak, hasilnya tidak bisa dijadikan sandaran utama untuk memenuhi biaya hidup petani dan keluarga. Karena itu, petani kopi juga beternak atau menanam tanaman hortikultura untuk menambah pendapatan.

Hasil wawancara kami ke beberapa kelompok petani, baik yang sudah menjual kalebu maupun yang belum untuk proses kopi spesial ini memperlihatkan bahwa sistem pembelian ini menguntungkan dan memudahkan petani. Petani yang belum bersedia ikut sistem ini, setelah melihat hasilnya berantusias untuk mengikutinya. Itu akan menyebabkan peningkatan jumlah kopi spesial di Benteng Alla Utara. Pengalaman para kelompok petani kopi yang tergabung di dalam KTBAU ini sangat layak dijadikan contoh bagaimana pengembangan dan peningkatan kualitas produksi kopi ke arah spesial membutuhkan kesabaran tersendiri dan tentu saja pembeli yang bersedia membayar dengan harga yang lebih. Ke depan, jika kawasan penghasil kopi yang selama ini temarjinalkan atau selalu dijadikan ban serep dapat mengikuti pengalaman di Benteng Alla Utara, dalam hal ini membentuk sentralisasi produksi, maka akan ada indikasi geografis dan single origin lebih spesifik dan baru. Misalnya kopi dari Benteng Alla, Enrekang, yang selama ini dijual sebagai kopi Toraja, di mana Toraja merupakan di luar wilayah Kabupaten Enrekang, akan dijual sebagai single origin Benteng Alla Utara atau sekurang-kurangnya Enrekang, mengingat karakter kopinya berbeda dengan karakter kopi di kawasan Toraja.

Selamat datang single origin Benteng Alla Utara di dalam jagat kopi spesial Indonesia![]

5 thoughts on “Peningkatan Mutu Produksi Kopi di Benteng Alla Utara, Enrekang, Sulawesi Selatan

  1. elevasinya brp ya enrekang???

    ok.mungkin inilah saat yg tepat untuk para pelaku bisnis kopi menyadari tanggung jawab dbalik kata “spesial” itu. bahwasanya spesial itu berarti adnya effort lebih dari komoditas kopi itu sendiri..bukkan utk hanya kepentingan harga bagus saja,tanpa timbal balik yg bagus kpd petani.

    patola adalah contoh….bukan hanya slogan demi penjualan. camkan!! *while listening to the beatles – the inner lights and drinking a cup of kintamani coffee. 🙂

    Like

Leave a comment