coffeewar: Secuil Surga Kopi di Kemang

Small is beuatiful barangkali berlaku untuk coffeewar, sebuah kafe mungil nan hangat, yang terletak di kawasan Kemang Timur, Jakarta Selatan. Meski kecil, pada kenyataannya coffeewar cukup dikenal di lingkaran penggemar kopi di Jakarta. Selain itu, coffeewar menurut kami merupakan suatu titik balik dalam konteks rancangan bisnis kedai kopi masyarakat urban. Pada saat orang-orang berlomba membangun kedai kopi berbasis espresso seakan-akan kedai kopi itu identik dengan espresso sebagai harga mati, coffeewar mencuat ke permukaan dengan menggedor standard semacam itu. Kopi itu tidak berhenti di espresso. Dalam bahasa mereka, “Kopi enak itu bisa dinikmati sebagaimana apa adanya”. Di coffeewar, Anda hanya bisa menikmati kopi tubruk dan kopi French Press. Sebagian pengunjung bahkan menekankan bahwa “Mau minum kopi tubruk, kalo di kafe di Jakarta, ya di coffeewar!”

Konsep yang diusung oleh coffeewar adalah Dapur. Pendiri coffeewar, Yogi dan Derbi, dua bersaudara, merupakan individu yang bergaris darah Tana Toraja. Mereka mencangkokkan gagasan dasar Dapur khas Tana Toraja ke dalam kafe mereka. Menurut mereka, Dapur di Toraja merupakan demarkasi, penanda keberterimaan secara penuh. Begitu Anda diperkenankan memasuki wilayah Dapur orang Toraja, itu tanda bahwa Anda sudah dterima secara penuh. Gagasan dasar semacam itulah yang disodorkan coffeewar kepada para pelangganya. Oleh karena itu, untuk orang yang pertama kali datang ke coffeewar, akan sulit membedakan mana pelanggan dan pemilik jika tidak ada celemek yang dikenakan awak coffeewar: semua berbaur. Di coffeewar, Dapur terbuka lebar: siapa saja boleh masuk.

Karena dapur itulah maka tidak mengherankan jika pemilik coffeewar tak sungkan-sungkan mengajukan tawaran titip jika mereka atau salah satu dari mereka hendak pergi. “Ada yang mau nitip sesuatu tidak, gw mau ke warung?” Dari segi jam operasional, meski mereka memiliki standard buka-tutup, yakni dari jam 10 pagi sampai jam 2 dini hari, mereka tidak akan tutup jika pada jam 2 dini hari lewat masih ada pelanggan yang betah bercokol. Tak jarang, begitu coffeewar hendak tutup, namun ada pelanggan tetap yang datang, sang pemilik bisa didesak untuk buka. Hebatnya, mereka meneruskan buka 😀

Dalam perjalanannya, keberadaan coffeewar sempat disangsikan sebagian orang lantaran kemuncullannya menjadi suatu anomali: di mana kafe-kafe yang baru atau hendak buka direpotkan soal pengadaan mesin espresso tangguh, mereka dengan lenggang-kangkung mendirikan coffeewar; tanpa mesin espresso. Dan, lihatlah keberadaan mereka sekarang yang sudah berjalan 3 tahun.

Majalah lokal dari Kelompok Tempo bahkan menyandangkan coffeewar sebagai “lebih radikal”. Dan, bagi kami, coffeewar adalah monumen historis, paling tidak berhistoria bagi Philocoffee ProjectKopi Kelana, dan Metacoffee. Pasalnya, alasan mereka tidak menyediakan mesin espresso lantaran itu berari mereka tidak mafhum akan espresso, melainkan mereka hendak menekankan bahwa espresso bukanlah hal mutlak. Kopi bisa dinikmati dengan berbagai cara, dan cara yang mereka tempuh adalah menikmati kopi apa adanya. Selain itu, dengan kebersahajaan yang disemburatkan coffeewar, hal tersebut turut berdampak pada relasi sosial yang terbangun di dalamnya. Anda dengan mudah dapat bertegur sapa kepada siapa saja di sana. Nah, tegur sapa di Jakarta merupakan barang mahal, tapi tidak di coffeewar; tentu saja selalu ada pengecualian, dan itu bukan disebabkan oleh konsep yang mereka usung, melainkan karakter individu yang bertandang ke sana.

Sering disebut-sebut bahwa bersahaja adalah salah satu bentuk kehangatan. Dengan ruangan yang kecil dan bersahaja, kehangatan antarpelanggan dan pemilik dengan mudah tercipta di sana. Tidak sedikit gelaran musik dari para pelantun dan musisi terkemuka meninggalkan cerita di tempat tersebut. Bahkan, jika Anda beruntung, Anda dapat berjumpa dengan filsuf Indonesia di sana, termasuk sastrawan dan Gus yang ahli gizi. coffeewar adalah miniatur sosial. Kami menemukan secuil surga di coffeewar. Meski secuil, itu tetap membahagiakan kami. Jika ada perang yang perlu dilestarikan, salah satunya kami akan merawat coffeewar!


6 thoughts on “coffeewar: Secuil Surga Kopi di Kemang

  1. asli toraja berarti bahan baku kopinya pun dominan toraja kah? wah, harus di coba ke sana nih. paling tidak penasaran kok cafe kayak rumah gudeg di jodja yang penggunjungnya bisa ke dapur :mrgreen:

    Like

    • Halo Pak,

      Terima kasih atas komentarnya.

      Untuk kopi toraja, mereka menyediakan juga. Jadi sejauh ini ada tiga kopi yang mereka sediakan, yaitu Toraja, Jawa, dan Mandailing.

      Benaran bisa kok Pak ke dapur mereka. karena konsep mereka dapur. Kalo Bapak sudah kenal dengan mereka, nanti bisa kapan pada waktu apa saja ke sana loh. Jam 2 pagi juga dilayanin kok 😀

      Like

  2. Pingback: Ada Kopi di Luar Espresso « philocoffeeproject

Leave a comment